(Penyuluh Agama Katolik Kanwil Kementerian Agama Propinsi Jawa Timur )
Berita yang menghiasi media cetak maupun elektronik, khususnya kasus kekerasan di sekolah, pornografi, narkoba dan tawuran antar pelajar yang semakin marak di negeri kita tercinta ini sungguh amat mengerikan dan menjadi keprihatinan serta bahan refleksi kita semua. Peristiwa ini mengindikasikan bahwa intoleransi telah menjadi citra wajah kehidupan bangsa kita, yang sesungguhnya juga telah merambah kalangan dewasa maupun kelompok elit politik, yang pada dasarnya belum siap menerima kekalahan dalam perebutan kekuasaan melalui pesta demokrasi yang “Luber dan “Jurdil”. Bahkan, ketika kita semua masih menunggu hasil akhir penghitungan suara “Pilpres” 2009, kita semua bahkan dunia internasional pun kembali dikejutkan dengan meledaknya bom di Hotel JW.Marriott dan Hotel Ritz-Carlton Jakarta yang terjadi pada tanggal; 17 Juli 2009 pukul;07.47 dan 07.57 WIB. Lalu muncul berbagai macam spekulasi dan pertanyaan: Siapa pelakunya / siapa dalangnya ? dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya. Ada apakah sesungguhnya dengan bangsa dan negeri kita tercinta ini ? Inilah satu pertanyaan besar yang perlu kita cari jawabannya. Ada beberapa kalangan / tokoh serta masyarakat pemerhati pendidikan, berasumsi bahwa salah satu kesalahan terletak dalam sistem pendidikan kita yang kurang mengedepankan “Visi Spiritual”. Sebab maju tidaknya suatu bangsa sangat bergantung pada dunia pendidikan, coba kita lihat sejenak kiprah para tokoh nasional kita dahulu, selain memiliki intelektual yang tinggi dan keahlian tertentu juga memiliki mental dan sikap nasionalisme yang begitu kuat, semua itu mereka dapatkan dari pendidikan formal maupun nonformal. Oleh karenanya siapapun yang akan memimpin negeri ini haruslah memiliki visi dan misi pendidikan yang kuat, yang tidak hanya meningkatkan intelektualnya saja, namun juga skill, mental dan spiritualnya. Bukanlah rahasia umum lagi dalam sistem pendidikan kita, bahwa nilai menjadi tujuan pokok dan utama, sehingga sering terjadi manipulasi nilai,dsb. Sekolah bukan lagi untuk tujuan hidup dan kehidupan, tetapi demi mencapai nilai - lulus - mendapat pangkat dan kedudukan yang terhormat lantas menindas orang lain. Saat ini Indonesia membutuhkan sebuah sistem pendidikan yang berkarakter kebangsaan yang kokoh, karena sistem pendidikan kita dewasa ini lebih banyak mengacu pada pola pendidikan modern model dunia barat. Bahkan ada sekelompok orang / masyarakat berpendapat bahwa: dunia pendidikan kerap menjadi dunia penindasan, pemerasan dan pembelengguan kebebasan daya kreatif dan inovatif. Fenomena yang terjadi tersebut semakin menumbuhkan satu pertanyaan mendasar dalam diri kita: “Sejauh mana keterkaitan agama dan pendidikan, sehingga keduanya menjadi landasan spiritual bagi proses dan dinamika pendidikan bagi anak-anak di negeri ini ?”. Dalam hal ini Thomas H.Groome (1998) menyampaikan delapan pokok perhatian dalam mengusahakan pendidikan yang bervisi spiritual, yang minimal ada enam hal yang cukup relevan bagi proses pendidikan di negeri kita ini, yakni karena: “Universalitasnya (antropologi positif dalam memandang subyek didik); Komitmen terhadap komunikasi dan persekutuan; Sikap hormat dan cinta pada kekayaan tradisi; Pengembangan rasionalitas demi kebijaksanaan hidup;Pemupukan spiritualitas yang integral dan Pentingnya perkembangan rasionalitas demi keadilan dan perdamaian”.
Thomas H.Groome kembali menegaskan bahwa; pada hakekatnya pendidikan itu bersifat religius, dan oleh karenanya pendidikan yang benar mesti memiliki visi spiritual yang diperjuangkan. Pendidikan yang bervisi spiritual selalu berusaha mengembangkan secara utuh – menyeluruh dalam segi kognitif,afektif dan motorik-pragmatik (tindakan). Dengan demikian setiap pendidikan mengarah pada kepenuhan hidup bagi setiap anak manusia yang dilandaskan pada hubungan dekat dengan Sang Sumber Hidup, selaras dengan lingkungan – alam dan saling mengasihi satu sama lainnya sebagai sesama manusia. Pendidikan yang bervisi spiritual terarah bukan saja pada pengembangan intelektualitas belaka, akan tetapi juga tertuju pada keterarahan jiwa bagi Sang Sumber Kehidupan Sejati itu sendiri. Dengan kata lain bahwa, spiritualitas adalah tindakan memelihara jiwa, maka tujuan pendidikan adalah; untuk mencapai kebijaksanaan hidup dan kebahagiaan sejati, yang merupakan ciri dan arah dasar sebuah spiritualitas. Dan perlu disadari bahwa; pendidikan yang bervisi spiritual berimplikasi praktis bagi pengembangan pribadi manusia, oleh sebab itu pedagogi seperti apakah yang secara kondusif memampukan sistem pendidikan kita untuk mengembangkan pendidikan yang bervisi spiritual. Maka Paolo Freire, adalah seorang mahaguru filsafat dan ilmu pendidikan yang cukup terkenal telah mendobrak sistem pendidikan melalui “Pedagogy of the Oppressed serta metode Conscientization-nya” (New York: Continuum,1990). Dan pendobrakan tersebut telah dilandaskan pada pedagogi dengan memperhatikan hal-hal sbb:
01. Pendidikan harus dilaksanakan atas dasar prinsip cinta kasih sebagai landasan bagi suatu dialog sebagai manifestasi dari prinsip cinta kasih itu sendiri.
02. Suasana dialog sebagai basis cinta kasih dan penuh kerendahan hati, tidaklah memberi ruang bagi sikap-sikap arogan, ataupun merasa palin benar / paling unggul dan paling menang.
03. Demi pembebasan dari luka-luka batin, sangatlah perlu ditumbuhkan sikap saling percaya, menghargai kreatifitas dan daya penyembuhan. Sehingga memungkinkan subyek didik (anak, guru dan orang tua) mampu melihat dan menghargai sikap kritis, alternatif dan menghormati nilai positif segala perubahan yang manusiawi.
04. Pentingnya memperhatikan unsur eksplorasi, penyelidikan sendiri dan sikap kritis terhadap pendapat yang dianggapnya keliru. Sehingga pembebasan dari ketertindasan dan konsientisasi sebagai syarat aktivitas yang membebaskan dapat diwujudkan.
Dengan demikian diharapkan bahwa, rahim pendidikan Indonesia akan mampu melahirkan anak-anak bangsa yang berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, memilki pengetahuan dan skil yang memadai, inovatif dan kreatif serta demokratis dan setiakawan pada sesama yang miskin dan tertindas. Pendidikan yang bervisi spiritual bukan hanya menjadi tanggung jawab guru, sekolah formal dan yayasan pendidikan saja, akan tetapi juga tanggung jawab orang tua, masyarakat dan segala unsur bangsa di negeri kita tercinta ini. Sehingga mampu melahirkan generasi baru yang beradap, toleran dan mengedepankan sikap penghargaan pada pluralisme. Atau yang lebih utama lagi akan melahirkan generasi baru yang memiliki kecerdasan spiritual yang memadai dan bijaksana, sehingga mampu membaca dan menangkap tanda-tanda zaman kehidupan. Sebab generasi yang demikian itulah yang akan mampu menhayati hidup beragama dan keberimanan yang setia, tangguh dalam hidup, konsisten antara kata dan perbuatan, serta mampu bekerjasama dengan sesama umat beragama dan solider terhadap sesama yang hidupnya miskin,menderita dan tertindas.