Bimas Katolik Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur

Selamat Natal 2017 dan Selamat Tahun Baru 2018
Pro Patria et Ecclesia
 
 Statistik Kunjungan
 


 Sejak: 18 September 2010

 
Web Links
 


 
Temukan kami di facebook

 
Penyegar Rohani  Cinta yang Berkobar untuk Misi? (Suatu Refleksi Filosofis berdasarkan Pemikiran John D Caputo tentang Cinta)
Editor: Subandri Update: 12-01-2012

Sebagai mahluk ciptaan, setiap manusia dipanggil dan diutus untuk mencinta. Kodrat menyatu dengan tugasnya sehingga tidak ada seorang pun yang bisa mengelak dari tugas itu karena jika menolak, dia juga akan menolak kodratnya sebagai manusia. Dengan kata lain, manusia adalah mahluk cinta. Hal ini tercetus jelas dalam ungkapan “dicipta untuk mencinta.” Ungkapan ini mengandung perutusan bagi setiap manusia tanpa terkecuali dengan tugas tunggal yaitu mencinta. Akan tetapi, suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa manusia itu tidak sadar akan tugas ini. Ketidaksadaran ini membuat manusia itu tertutup untuk mau mengerti tugas perutusan ini secara jelas.

Dalam tulisan ini, penulis hendak mencoba memaparkan suatu refleksi  filosofis mengenai tema cinta yang berkobar untuk misi. Yang menjadi pertanyaan dasar adalah: apa itu yang dimaksud dengan cinta yang berkobar untuk misi? Bagaimana kita dapat memiliki cinta yang seperti ini? Mengapa cinta itu menjadi suatu hal penting dalam misi? Pertanyaan-pertanyaan dasar ini akan dijawabi dengan menggunakan pemikiran salah satu filsuf agama postmodern, John D Caputo. Pada akhir dari ulasan ini, penulis akan menampilkan seorang tokoh misi yang dapat menjadi teladan bagi kita dalam menghidupi cinta yang berkobar ini dalam hidupnya, St. Yosef Freinademezt.


Membuka hati dan pikiran untuk Cinta

Diskusi tentang cinta bukanlah suatu hal yang baru di dalam ziarah pemikiran manusia akan tetapi tetap menjadi tema yang selalu hangat dibicarakan dan diolah. Selalu hangat bukan karena tema ini sulit untuk dicerna oleh rasio manusia melainkan karena sungguh ada dalam hidup manusia dan harus ada dalam diri manusia itu sendiri. Cinta itu sudah dialami dan ada dalam hidup manusia sejak dia belum dilahirkan, dilahirkan dan hingga manusia itu harus meninggalkan kemanusiaannya. Cinta itu bukan soal pemberian melainkan sudah ada dalam diri manusia sejak dia ada dan menjadi bagian dari kodrat manusia itu sendiri. Dengan kata lain, manusia ada hanyalah karena cinta lepas dari bagaimana itu dimengerti, bagaimana dia dijadikan, dan lepas dari pengalamannya ketika dia berada dalam dunia.

Membuka hati dan pikiran untuk cinta bukan berarti bahwa cinta itu belum ada dalam diri manusia melainkan suatu ajakan untuk semakin menyadari akan keberadaan cinta itu. Nah, cinta yang bagaimana yang dimaksud? Apakah cinta dimaksud adalah cinta dalam kata benda “cinta”? Untuk menjawa kedua pertanyaan ini, mari kita sama-sama masuk ke dalam alam pemikiran seorang tokoh yang telah mencoba merumuskan cinta itu secara lebih jelas dalam bukunya “On Religion”. Dia adalah John David Caputo, seorang filsuf Amerika.

Menurut Caputo cinta memiliki arti sebuah pemberian yang utuh, sebuah komitmen tanpa syarat. Totalitas menjadi suatu syarat penting dalam mencintai sehingga tidak ada istilah setengah-setengah atau mencintai dengan sedang-sedang saja, sampai batas tertentu sembari mencari yang lebih baik. Totalitas ini dipertegas lagi dengan sebuah komitmen tanpa syarat yang membawa manusia itu masuk dalam suatu ketegasan hati untuk menerima yang dicintai apa adanya. Dengan demikian, cinta itu bukanlah suatu investasi demi masa depan “aku mencintai supaya..” melainkan suatu sebuah komitmen pada apa pun yang terjadi di masa depan. Caputo memberikan suatu ilustrasi menarik dari cinta yang tak bersyarat ini:

 

“Jika seorang istri menceraikan suaminya karena ia gagal dalam profesinya dan gajinya tidak mencapai standar yang ia impikan saat belum nikah dulu, jika ia mengeluh bahwa suaminya tidak berusaha mati-matian demi “tawar-menawar” tertentu, sudah pasti itu bukanlah komitmen yang tak bersyarat, sebentuk janji sampai-mati-memisahkan-kita yang dikatakan dalam cinta dan janji pernikahan”.[1]

 

Sang istri menampilkan suatu ungkapan cinta yang dipenuhi dengan syarat-syarat dan kontrak-kontrak terhadap suaminya. Dia tidak memiliki cinta yang sesungguhnya yang telah diucapkan pada saat pernikahan itu. Cintanya hilang bersama dengan tidak terkabulnya impian-impian indahnya. Cinta dipudarkan oleh rasa kecewa terhadap suaminya. Sesungguhnya dia belum memiliki cinta yang sesugguhnya. Ketika cinta itu sungguh merupakan suatu ekses tak bersyarat maka “para pecinta adalah mereka yang melampaui sekedar kewajiban, yang mencari cara-cara lain untuk melakukan sesuatu melebihi yang diharapkan darinya.” [2] Mereka tidak hanya akan melakukan seperti yang diminta melainkan berusaha melakukan yang lebih, melampaui apa yang diminta untuk dilakukan. Mereka bekerja bukan hanya untuk memenuhi kewajiban semata-mata tapi lebih dalam dari situ. Cinta menuntut suatu yang lebih yang tidak kadang secara logis tidak mungkin. Dari penjelasan ini, Caputo merumuskan premis pertamanya bahwa bagi cinta, ketidakmungkinan menjadi wilayah yang paling mungkin dan di sanalah wilayah cinta sejati, Cinta kasih Tuhan.

Cinta sejati adalah cinta tanpa tolak ukur. Tidak ada satu pun yang menjadi tolok ukur dari cinta itu selain cinta itu sendiri. Dengan kata lain, “karena jika cinta kasih merupakan tolok ukur, satu-satunya tolok ukur cinta adalah cinta kasih tanpa tolok ukur.[3] Tolok ukur mengandaikan suatu keberadaan dari suatu hal yang memiliki batasan tertentu agar sesuatu itu sungguh-sungguh memiliki keberadaan yang utuh. Sebagai contoh, setiap pemikiran filosofis memiliki tolok ukur pada rasio, akal budi. Bila pemikiran itu tidak sesuai dengan tataran akal budi maka pemikiran itu dianggap tidak sahih, tidak mendapatkan keberadaan yang sungguh. Demikian juga dalam cinta. Cinta adalah tanpa tolok ukur karena cinta itu adalah tolok ukur itu sendiri. Cinta menjadi tolok ukur bagi manusia yang memiliki kodrat untuk mencinta. Caputo menempatkan cinta itu sebagai tolok ukur bagi manusia dalam ranah agama. Bagi Caputo, cinta dapat dipakai untuk mengukur kualiatas keagamaan seseorang; sejauh mana seseorang telah setial pada dirinya sendiri, pada panggilan keagamaannya.[4] Dalam kaitannya dengan manusia sebagai ciptaan yang diutus untuk mencinta, cinta dapat dipakai sebagai tolok ukur kualitas hidup manusia, sejauh mana manusia itu telah mengaktualisasikan cinta itu secara tepat.

Cinta memampukan manusia untuk melewati wilayah yang mungkin dan berani masuk dalam suatu dunia/wilayah ketidakmungkinan. Caputo menerangkan ini dengan memberikan distingsi atas dua masa depan. Masa depan yang pertama adalah masa depan sekarang (futere present) yaitu masa depan dari masa sekarang, masa depan yang diarah oleh masa sekarang, momentum masa sekarang menuju masa depan yang kurang lebih dapat kita amati.[5] Masa depan yang pertama ini dapat kita ramalkan dengan berbagai rencana yang pasti. Seorang mahasiswa dapat mengamati bagaimana masa depan yang akan dia jalani, lembaga-lembaga dengan rencana panjangnya. Masa depan yang kedua adalah masa depan jenis lain, pemikiran lain mengenai masa depan, suatu relasi dengan masa depan yang lain, yakni masa depan yang tidak dapat diramalkan sebelunya, yang akan mengejutkan kita, yang akan datang seperti pencuri di malam hari (I Tes 5:2) dan meremukkan horizon-horizon yang dibangun rapi seputar masa sekarang.[6] Menghadapi masa depan absolut ini, kita tidak butuh lagi kecerdasan mate-matis yang dapat merancang rencana-rencan besar, kita tidak butuh lagi kecerdasan otak yang bisa menganalisa setiap kejadian yang akan terjadi. Yang kita butuhkan hanyalah iman, harapan dan cinta. Inilah yang merupakan wilayah ketidakmungkinan, ketika rasio tidak mampu lagi mengatasi setiap fenomena hidup. Inilah yang dialami oleh Perawan Maria ketika Malaikat Gabriel menyampaikan pesan surgawi kepadanya, ketika sesuatu yang tidak mungkin akan terjadi dalam hidupnya. Ketidakmungkinan merupakan bagian kerja Ilahi sehari-sehari Tuhan, bagian dari job description-Nya.[7] Ketidak-mungkinan itu hanyalah datang dari Tuhan dalam hidup manusia. Ini bukanlah sesuatu yang mudah dan penuh banyak risiko sehingga kita dituntut memiliki sikap tunduk pada-Nya seperti kata “ya!” dari Sang Perawan.

Dalama wilayah ketidakmungkinan ini pada akhirnya kita dibawa pada suatu batas di mana kita harus melepaskan segala kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam hidup kita. Kita dibawa pada suatu masa di mana kita harus mencintai apa yang tak mungkin kita cintai, mencintai mereka yang tidak layak untuk dicintai, mencintai mereka yang tidak mencintai kita, mencintai musuh-musuh kita. Kita tidak lagi bermain-main dalam wilayah kemungkinan-kemungkinan semata, melainkan berjuang dalam wilayah yang tidak dapat dimainkan. Inilah yang mustahil dalam pikiran kita, tetapi hanya pada saat itulah cinta itu menjadi mungkin yaitu ketika kita berjuang mencintai mereka yang tidak mungkin kita cintai, ketika kita berada di wilayah ketidakmungkinan itu.

Konsep cinta ini pada akhirnya ditutup dengan suatu ajakan dan penegasan bahwa cinta itu bukanlah hanya sebatas konsep belaka. Sangat sulit untuk membangun suatu konsep yang utuh tentang cinta. Banyak hal yang harus disatukan yang kadang membuat kening kita mengerut untuk memikirkannya sehingga kita lupa pada hidup kita. Caputo menegaskan bahwa “cinta itu bukanlah sebuah makna untuk memberi definisi, tetapi sesuatu untuk dilakukan, sesuatu untuk dibuat.”[8] Dengan kata lain, cinta itu ada suatu panggilan untuk bertindak. Bertindak berarti mengaktualisasikan cinta itu dalam hidup kepada Tuhan, sesama dan apa saja yang ada.

 

St. Yosef Freinademezt: Cinta dan Misi

Pertanyaan mendasar dari bagian ini adalah, mungkinkah kita mampu memiliki cinta yang demikian? Pertanyaan ini memang bernada skeptis, akan tetapi memiliki suatu ungkapan kritis yang menantang kita untuk berani maju pada cinta yang sejati itu. Kita tidak boleh diam hanya berpangku tangan setelah mencoba mencicipi sedikit dari makna cinta itu melainkan berdiri dan bertindak karena hanya demikian kita bisa menjadi pecinta.

Untuk menjawabi pertanyaan skeptis tadi, mari kita turun ke bawah dan melihat kembali pengalaman hidup kita. Turun berarti mengaktualisasikan konsep ini dalam hidup sehingga kita tidak sampai terbuai semata-mata dengan konsep itu. Melihat bagaimana cinta itu dalam hidup kita sehari-hari. Akan tetapi sebelumnya kita harus melihat dulu sebuah teladan dari cinta itu dan dalam tulisan ini penulis menawarkan seorang misi yang telah melakukan konsep ini dengan baik. Dia adalah St. Yosep Freinademezt.

Pada zamannya, orang Eropa memandang orang-orang Asia sebagai manusia yang rendah, barbar, dan tidak berbudaya. Mereka bahkan dipandang sebagai manusia yang diciptakan lebih rendah dari orang Eropa. Anggapan seperti ini juga awalnya dimiliki oleh St. Yosef Freinademetz. Dalam suratnya ke Eropa dia menuliskan “Orang Cina itu licik, tidak jujur –bahasanya ganjil – diciptakan lebih rendah daripada orang Eropa -Rumah ibadat mereka itu rumah setan –Selalu makan nasi, bahkan sampai di ranjang maut – membawa persembahan makanan untuk orang mati – Sungguh Cina itu merupakan kerajaan setan. Namun setelah dia berada lama di Cina dan hidup bersama dengan orang Cinta, akhirnya anggapan itu berubah total.  Baginya, orang Cina adalah kelompok manusia yang cerdas. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana prasangka itu bisa berubah?

St. Yosef Freinademetz dalam misinya sering berkata “Tugas terbesar seorang misionaris adalah transformasi diri”. Transformasi berarti mengubah diri menjadi baru menurut semangat sejati seorang misionaris, menurut semangat Injil, menurut semangat tarekat. Dengan semangat inilah dia mengalami perubahan yaitu dari prasangka menuju realitas yang  sebenarnya. Dia mau dirubah oleh cinta itu secara radikal setelah membuka hati dan pikirannya untuk cinta.

Dalam tugas misinya, St. Yosef Freinademetz telah menampilkan suatu dunia ketidakmungkinan. Pergi ke tempat yang tidak pernah dia kunjungi sebelumnya, hidup bersama dengan bangsa yang menurut bangsanya merupakan bangsa tak beradab. Dia telah menunjukkan dan mengaktualisasikan cinta yang sejati itu ketika dia berani masuk dalam dunia ketidakmungkinan. Dalam berbagai sumber diceritakan bahwa dalam beberapa kesempatan dia harus mengalami suatu derita yang amat mendalam. Berhadapan dengan kelompok boxer bukanlah suatu yang mudah. Akan tetapi dengan semangat tinggi dia telah berusaha bersahabat dengan mereka, mencintai mereka yang sebenarnya secara logika sulit dan tak mungkin untuk dicintai. Inilah wilayah ketidakmungkinan itu dan dia telah memasukinya hanya karena cintanya.

Cinta membuat dia berani memberikan diri secara total dan tidak ada sikap setengah-setengah dalam dirinya. Salah satu ungkapan dia yang sangat ambisius adalah “Aku telah menjadi orang Cina dan di surga pun aku mau menjadi orang Cina”. Totalitas ini terbukti dalam pengalaman-pengalaman hidupnya. Beberapa kali dia harus menghadapi umat yang berlaku jahat dan tidak sesuai dengan nasehat injil. Bagi kita ini adalah sebuah kegagagalan akan tetapi bagi dia ini ada suatu cara Tuhan untuk memberkati dia. Cintanya sungguh tidak bersyarat. Dia tetap mencintai orang Cina yang menyakitinya, yang membencinya, yang sering mengancam hidupnya. Dia tidak merasa kecewa dengan hal itu dan dia tidak pernah menyesal dengan itu. Inilah yang merupakan bukti nyata bagaimana cinta yang berkobar untuk misi.

 

Suatu refleksi dari Sudut-sudut Gedung Seminari Tinggi SVD “Surya Wacana”



[1] John David Caputo, Agama Cinta Agama Masa Depan, Bandung: Mizan, 2003. hlm. 5

[2] Bdk. Ibid. hlm 6.

[3] Bdl. Ibid.

[4] Bdk. Ibid. hlm. 4.

[5] Bdk. Ibid. hlm.9.

[6] Bdk. Ibid.

[7] Ibid. hlm. 14.

[8] Ibid. hlm. 173.

 

  
  
Kabar Daerah
 
Cari Berita

Agenda Kegiatan

-----------------------------

Pertemuan Pembinaan Guru Agama Katolik Sekolah Dasar
28-4-2017

Tulisan Populer

Work Shop Penyusunan Silabus dan RPP Berkarakter PAK SD 
Read: 70.126

Cinta yang Berkobar untuk Misi? (Suatu Refleksi Filosofis berdasarkan Pemikiran John D Caputo tentang Cinta) 
Read: 57.584

MATERI MINGGU GEMBIRA MASA BIASA 
Read: 52.836

ADAKAH KEHIDUPAN SETELAH KEMATIAN ? 
Read: 49.394

Makna Ibadah dalam perspektif agama katolik 
Read: 47.227

Arsip



Copyright (C) 2010-2018  
  Email: [email protected]
Jl. Raya Juanda 26 Sidoarjo

Tampilan terbaik gunakan mozilla firefox terbaru