Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku, adat istiadat, bahasa dan agama, sehingga merupakan bangsa yang majemuk. Kemajemukan tersebut dari pandangan positif merupakan suatu kenyataan yang harus disyukuri sebagai kekayaan bangsa. Namun demikian kemajemukan dari pandangan negatif juga mengandung kerawanan sosial yang dapat menimbulkan konflik kepentingan antar kelompok yang berbeda. Untuk menghindari munculnya konflik tersebut diterbitkanlah Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 yang menetapkan arah pokok kebijakan di bidang agama antara lain berupa peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman beragama serta kehidupan beragama, dan peningkatan kerukunan intern dan antar umat beragama. Juga munculnya SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 tahun 2006 yang diantaranya menetapkan pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) mulai tingkat Provinsi hingga Kabupaten/Kota, yang kemudian melahirkan harapan dan cita-cita yang tinggi untuk sebuah kehidupan kebersamaan yang rukun, damai dan saling menghargai.
Memanajemen konflik; membangun kesejatian dalam keterbukaan
Perbedaan pengalaman, pemahaman dan perumusan menyebabkan perbedaan antara agama. Tuhan yang pada realitasnya hanya satu itu dipahami secara berbeda-beda, tidak hanya menurut perbedaan agamanya tetapi juga terjadi di dalam intern masing-masing agama. Perjumpaan dengan umat beragama lain akan memperkaya kehidupan beriman dan beragama. Perbedaan agama bisa menjadi sumber konflik apabila diantara yang beda tersebut saling mengklaim kebenaran dan tidak mempunyai wawasan yang luas dan dalam, serta tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan kemanusiaan. Selama ini konflik yang terjadi di Indonesia bukan semata karena perbedaan doktrin agama, akan tetapi lebih disebabkan oleh faktor di luar agama, seperti : politik, ekonomi, individu maupun golongan tertentu, yang dikaitkan dengan agama sebagai sektor yang paling gampang disalahgunakan. Kerukunan umat beragama adalah kondisi dimana antar pemeluk agama dapat menjalankan ibadah agamanya secara saling menghormati, toleransi, menjaga ketertiban dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kondisi tersebut mengandaikan sudah adanya ; pemahaman yang luas terhadap ajaran agamanya masing-masing, komunikasi antar dan intern umat beragama baik secara individu maupun kelompok dan adanya implementasi kerjasama yang harmonis dalam lintas sektoral kehidupan.
Sejarah membuktikan bahwa sejak awal, para pendiri bangsa ini sudah menyadari bahwa perbedaan agama akan sangat mudah dan rawan terjadinya konflik. Karena itu harus diatur atas kesadaran bersama bangsa Indonesia yang memang majemuk ini. Berbagai pola untuk mencari titik temu telah dirintis sampai era sekarang ini. Kenyataan sejarah tersebut harus menjadi pelajaran berharga bagi kita, kita harus menjadi bangsa yang dewasa dengan belajar dari sejarah. Agama sebagai nilai spiritual harus menumbuh kembangkan suara hati nurani. Bangunan yang harus kita tegakkan adalah membangun kesadaran bersama berlandaskan pada kekuatan hati nurani, bukan sebaliknya mengedepankan ego dan rasio semata. Kita harus membangun kesejatian dan bukan kepura-puraan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di bumi pertiwi yang dilandasi ke-Bhinekaan ini. Untuk membangun kesejatian dan menghindari kenyataan yang semu, kita harus membangun keterbukaan. Keberagaman atau pluralisme tersebut harus ditata dan dikelola sedemikian rupa agar terbangun paradigma baru kesadaran kerukunan antar umat beragama. Seorang budayawan Islam Emha Ainun Nadjib, yang akrab disapa Cak Nun berusaha meluruskan pemahaman mengenai pluralisme, dia mengatakan; “Pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama, Katolik beda dengan Islam, Kristen, Budha, Hindu dan aliran-aliran kepercayaan lainnya. Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda, dan kita harus menghargai itu semua.” (Kompas 19 Oktober 2006). Itulah manajemen keberagaman.
Cara pandang baru dalam habitus baru.
Agama diharapkan dan memang seharusnya menjadi faktor pemersatu dalam dimensi kebersamaan sesama manusia, lembaga agama dan pimpinan agama hendaknya menjadi referensi penyelesaian berbagai masalah kehidupan yang dialami oleh umat beragama. Fanatisme agama yang menjadi ‘pelarian’ atas persoalan kemasyarakatan (ketimpangan berbagai kehidupan dan ketidakadilan) seolah-olah menjadi jalan keluar. Sementara dalam kenyataannya, agama-agama sendiripun masih perlu merumuskan peranannya dalam peningkatan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Teologi agama-agama harus berubah dari biblis sebagai basis menjadi teologi dengan basis situasi masyarakat yang memprihatinkan. Kekuaatan global seperti neoliberalisme dengan mesin globalisasi berpengaruh besar terjadinya guncangan nilai-nilai agama yang selama ini menjadi pegangan hidup. Oleh karena itu untuk menatap ke depan dengan pengharapan perlu dilakukan perubahan menuju habitus baru yaitu sebuah transformasi budaya dengan cara mengubah habitus lama menjadi habitus baru. Habitus lama yang disebabkan berbagai kebiasaan buruk yang dilakukan beramai-ramai hanya dapat ditinggalkan melalui gerakan kebiasaan yang baik yang dilakukan bersama-sama pula. Sebagai gerakan, transformasi budaya bukan sekedar perubahan nilai-nilai abstrak.
Agama yang ‘ramah lingkungan
Gerakan habitus baru harus dimulai dari yang kasatmata, dekat dengan keseharian hidup, tidak lagi mengandung ambiguitas moral, serta bekerjasama dengan kelompok-kelompok lainnya. Institusi Agama tidak mungkin melakukannya sendirian, harus terbuka dengan agama-agama lain, dalam hal ini membentuk atau menciptakan kerjasama lintas sektoral demi terciptanya keharmonisan hidup bersama. Dengan kata lain bahwa setiap agama harus memiliki sikap ‘ramah’ terhadap lingkungan hidup sekitarnya. Agama yang ‘ramah lingkungan’ harus berani membuka diri serta menumbuhkan inisiatif pemikiran dan gerakan berbagai hal yang urgen dan kontekstual; mengenai pemahaman terhadap situasi, kondisi dan perkembangan bangsa dan negara, adanya pemahaman kerjasama yang saling menguatkan antara yang lemah dan kuat, maju dan tertinggal, minoritas dan mayoritas. Sehingga dengan demikian akan terbangunnya toleransi dan kerukunan antar warga bangsa dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.