Hukum Kasih mengajarkan kepada kita tentang cinta yang bersifat horisontal, yaitu kepada sesama. Pertanyaannya sebenarnya siapakah sesama itu? pertanyaan ini simpel tetapi cukup mendasar. Setiap hari kita sudah berkutat dan berbaur dengan orang lain disekitar kita yang kita sebut sebagai sesama. Entah itu itu teman, tetangga, orang asing yang setiap hari kita temui dan sebagainya. Sesama bagi bagi kebanyakan diantara kita sering kita pandang sebagai orang lain sebagai yang asing bagi kita, tetapi yang sebenarnya menurut Tuhan sesama harus kita lihat sebagai saudara. Yah....sebagai saudara, sebab kata saudara memiliki makna tersendiri, disana ada kedekatan, ada komunikasi dan yang lebih penting lagi dalam kata saudara ada keintiman. Memang kalau setiap kita bisa melihat dalam wajah sesama kita sebagai saudara kita sendiri, maka dunia kita ini akan menjadi cerah dan indah. Tidak ada lagi kebencian, perselisihan, perang dan sebagainya. Pada saat itu kita melihat sesama kita dengan mata kasih. Dengan mata kasih kita bukan saja melihat sesama kita sebagai saudara sendiri, tetapi malah sebagai diri kita sendiri, bahkan sebagai sosok Tuhan sendiri. Cinta yang diungkapkan dalam perbuatan secara konkrit, bukan teoritis. Kasih yang teoritis memang indah untuk dibicarakan, tetapi tidak membangun hidup. Kasih yang sejati dan riil berarti menjadikan sesama seperti saudara kita sendiri, bahkan seperti diri kita. Dan ini tidak mudah. Karena kepicikan manusia membuat batasan dan pagar, tembok dan garis pemisah antara sesama. Ajaran kasih dari Yesus mendobrak segala garis pemisah itu. Semua manusia siapapun dia itu, termasuk musuh kita adalah sesama saudara. Tuhan Yesus mendesak supaya kita berpikir tidak berpangkal pada diri sendiri, tetapi pada orang lain, terlebih yang menderita.
Apa kata para nabi-nabi dan terutama Yesus Kristus sendiri tentang Allah? Menelusuri seluruh Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru akan kita temui bahwa Allah itu sungguh satu pribadi, seorang Bapa yang penuh cinta dan sayang yang prihatin akan nasib dan keselamatan manusia dan yang memberi kebebasan kepada anak-anakNya. Allah bukan satu kekuasaan impersonal (tak pribadi) atau kekuatan anonim (tanpa nama). Ia adalah satu pribadi, yang menyatakan diriNya, yang mempunyai rencana dan tujuan tertentu dengan manusia sebagai teman dialog dan sebagai sasaran rencanaNya. Sebagai pribadi Ia berkomunikasi dengan manusia sebagai AKU ~ ENGKAU. Dia yang tak kelihatan itu menyapa manusia sebagai sahabat. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, Ia berhadapan dengan Nabi Musa, berbicara dengannya sebagai dua pribadi yang saling berhadapan berhadapan (AKU ~ ENGKAU), seperti seorang berbicara dengan temannya (bdk. Kel 33:11). Sepanjang sejarah Israel penuh bertaburan peristiwa dan kesempatan dimana Allah itu melibatkan DiriNya dari mereka, dan terus menerus mengundang manusia kepada keselamatan. Ia begitu dekat dengan manusia Israel, mengasihinya dengan segenap hati. Ia berjuang demi mereka, menguatkan mereka sehingga mereka dapat bertahan terhadap musuh-musuhnya.
Tokoh Nabi Ayub pernah mengalami kesulitan tidak kecil dengan tokoh Allah ini. Siapa tidak akan tergerak hatinya untuk berpikir dan memikirkan Ayub, orang saleh itu digerogoti oleh penyakit kusta yang ngeri? Berhadapan dengan sahabatnya itu (Allah), Ayub berseru lantang ; dimana Allah – sahabatku dulu? Meski perih rasanya, terbentang rupa-rupa tanda tanya, Ayub pada akhirnya tidak dapat melepaskan diri dari sahabatnya itu. Ia berucap : Aku tahu penebusku hidup. Allah, sahabatku akan membebaskan saya dari musuh-musuhku. Biar Allah itu sulit dimengerti, tindakannya melampaui daya tangkap manusia, namun saya boleh mempercayakan diri kepadaNya saja.
Allah adalah satu pribadi yang dapat disapa dan dimintai pertolongan (bdk Luk 10:2; Maz 2:8, 27:4), dari Dia dapat dinantikan pengampunan (Mat 6:12), Dia tidak membeda-bedakan melainkan menerbitkan mataharinya untuk orang yang baik dan orang yang jahat juga (Mat 5:45). Dia adalah satu pribadi yang memiliki perasaan-perasaan hati yang halus, mempunyai telinga untuk mendengarkan dan mempunyai hati untuk merasakan dan menyelami. Menyaksikan nasib bangsa Israel, katanya kepada Musa: “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umatKu di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka….. ya Aku mengetahui penderitaan mereka” (Kel 3:7). Lalu Ia mengutus Musa menghadap firaun untuk membebaskan Isarel. Ketika Israel ditawan di Babilon, dimana rasa putus asa dan tanpa harapan mulai menghinggapi Israel, Allah dengan perantaraan nabi-nabi menghibur mereka. “Aku ini, Tuhan Allahmu, memegang tangan kananmu dan berkata kepadamu jangan takut, Akulah yang menolong Engkau….’ (Yes 41:13-14). Allah cemburu bila Isarel tidak setia pada perjanjian yang telah diikat, yakni menjalin hubungan dengan dewa-dewi bangsa lain” (bdk. Kel. 20:5 ; Ul. 5:9).
Allah adalah satu pribadi, hal ini ditegaskan oleh Konsili Vatikan II dalam “Wahyu Ilahi” sebagai berikut :
Dalam kebaikan dan kebijaksanaanNya Allah berkenan mewahyukan DiriNya dan menyatakan rahasia KehendakNya (bdk Ef 1:9). Berdasarkan kehendak ini, manusia melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, di dalam Roh Kudus, menemukan jalan kepada Bapa dan mengambil bagian dalam kodrat ilahi (bdk Ef 2:18; 2Ptr 1:4). Maka dengan Wahyu ini Allah yang tak kelihatan (bdk Kol 1:15; 1 Tim 1:17), karena cinta kasihNya yang melimpah ruah menyapa manusia sebagai sahabat (bdk Bar 3:38), guna mengundang dan menerima mereka ke dalam persekutuanNya.Maka, sesudah berbicara dengan pelbagai dan banyak cara melalui nabi, “akhirnya pada hari-hari itu Ia berbicara kepada kita di dalam Puteranya” (Ibr 1:1-2). Karena Ia mengutus PuteraNya, yaitu Sabda abadi, yang menerangi semua manusia, agar Ia berdiam di antara manusia dan menceriterakan kepada mereka isi hati Allah (bdk Yoh 1:1-18). Jadi Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, diutus sebagai manusia kepada manusia, menuturkan firman Allah dan menyelesaikann karya keselamatan, yang diserahkan Bapa kepadaNya untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, seorang yang melihat Dia, melihat juga Bapa…. (Wahyu Ilahi, no. 2, 4 dalam Tonggak Sejarah Pedoman Arah, hal. 294-296).
Salah satu kekayaan agama Kristen yang menarik untuk disimak ialah Allah dipandang sebagai Bapa, Allah adalah Bapa. Allah diimani dan dihormati sebagai Allah yang maha kuasa, maha baik, maha adil, maha… , itu juga diakui dan diimani oleh agama lain meski pengertian dan paham tentang semua sifat itu berlainan. Namun semua sebutan itu menempatkan Allah di atas singgasana yang tak dapat dihampiri oleh siapapun.
Allah “ditempatkan” sangat jauh dari manusia. Ia sungguh melampaui manusia, sangat lain sekali dari manusia. Allah itu jauh sekali dari manusia. Dengan demikian Allah semacam itu hanya dapat disembah dengan rasa takut. Semangat perbudakanlah yang menjiwai manusia.
Selain mengakui itu semua, agama Kristen mengakui dan mengimani Allah sebagai Bapa. Ia adalah Bapa. Manusia yang mempercayai itu sungguh-sungguh, akan menyembah Allah Bapa bukan dengan rasa takut sebagai seorang budak, melainkan dengan rasa hormat dan kagum, dengan cinta dan penuh percaya sebagai seorang anak. Mengenai hal ini sudah ditandaskan dalam surat kepada jemaat Roma : ”Sebab Roh, yang diberikan oleh Allah kepada saudara-saudara tidaklah membuat saudara menjadi hamba sehingga saudara hidup di dalam ketakutan. Sebaliknya Roh Allah itu menjadikan saudara anak-anak Allah. Dan dengan kuasa Roh Allah itu kita memanggil Allah itu “Bapa, ya Bapaku” (Rom 8:15).
Mengapa demikian? Mengapa Allah adalah Bapa? Allah sendirilah yang menyatakan diriNya, sekurang-kurangnya dalam tindakan dan hubungannya dengan Israel nyata jelas Ia bertindak sebagai seorang Bapa. Beberapa data Perjanjian Lama dan kemudian Perjanjian Baru akan diketengahkan di bawah ini guna memperjelas pokok ini.
Mula-mula Allah disebut Bapa atau tersirat sebagai bapa bagi seluruh bangsa Israel, dengan tekanan pada unsur kewibawaanNya. Sejarah Allah dengan umatNya Israel mengungkapkan hal itu. “Demikianlah engkau mengadakan pembalasan terhadap Tuhan, hai bangsa yang bebal dan tidak bijaksana? Bukankah Ia Bapamu yang menciptakan engkau, yang menjadikan dan menegakkan engkau? Gunung batu yang memperanakkan engkau, telah kaulalaikan dan telah kaulupakan Allah yang melahirkan engkau? Ketika Tuhan melihat hal itu, maka Ia menolak mereka, karena Ia sakit hati oleh anak-anaknya laki-laki dan perempuan” (Ul 32:6.8.19). Di tempat lain ditunjukkan dan dikenangkan kebaikan dan belaskasih Allah, sang Bapa itu, sebagai berikut: “Terhadap Engkau kami memberontak sejak dahulu kala. Demikianlah kami selain seperti orang najis dan segala kesalahan kami seperti kain kotor….Tetapi sekarang, ya Tuhan, Engkau Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami dan kami sekalian adalah buatan tanganMu. (Yes 64:5-8). Dalam nada yang hampir sama dikemukakan lagi: “Pandanglah dari surga dan lihatlah dari kediamanMu yang kudus dan agung!…..Bukankah Engkau Bapa kami? Sungguh, Abraham tidak tahu apa-apa tentang kami dan Israel tidak mengenal kami. Ya Tuhan, Engkau sendiri Bapa kami, namaMu ialah “Penebus kami” sejak dahulu kala” (Yes 63:15-16).
Sepenggal kutipan yang penuh kata-kata halus mengharukan sekaligus mengekspresikan sifat kebapaan Allah terhadap Israel dapat kita baca dalam Kitab Hosea sebagai berikut:
“Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia dan dari Mesir Kupanggil anakKu itu. Makin Kupanggil mereka makin pergi mereka itu dari hadapanKu; mereka mempersembahkan korban kepada para Baal, dan membakar korban kepada patung-patung. Padahal Akulah yang mengajar Efraim berjalan dan mengangkat mereka ditanganKu, tetapi mereka tidak mau insaf, bahwa Aku menyembuhkan mereka. Aku menarik mereka dengan tali kesetiaan, dengan ikatan kasih. Bagi mereka Aku seperti orang yang mengangkatku dari tulang rahang mereka; Aku membungkuk kepada mereka untuk memberi mereka makan. Mereka haruis kembali ke tanah Mesir, dan Asyur akan menjadi raja mereka, sebab, akan memusnahkan palang-palang pintu mereka, dan akan memakan mereka di benteng-benteng mereka. UmatKu betah dalam membelakangi Aku; mereka memanggil kepada Baal dan berhenti meninggikan namaKu. Masakan Aku memberikan engkau hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel? Masakan Aku membiarkan engkau seperti Adam, membuat engkau seperti Zeboim? Hatiku berbalik dalam diriku, belaskasihanKu bangkit serentak, Aku tidak akan melaksanakan murkaKu yang menyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak datang untuk menghanguskan” (Hosea 11:9).
Pengertian Allah sebagai Bapa diteruskan dalam Perjanjian Baru. Ungkapan “Allah Bapa” mau menyatakan wibawa dan kuasa Allah namun sekaligus mengekspresikan dekatnya Allah dengan manusia. Allah sebagai Bapa manusia tidak mengandung implikasi lain selain bahwa sebagai Bapa Ia melindungi, memelihara, dan menyelenggarakan hidup manusia. Sebagai Bapa, Ia prihatin akan segala ciptaanNya, terlebih akan manusia. Lihatlah saja, burung-burung pipit saja tak hilang dari perhatianNya, apalagi anak manusia. Semuanya berada dalam jangkauan minat dan perhatianNya. “Dua ekor burung pipit dapat dibeli dengan satu duit. Meskipun begitu tidak seekorpun yang jatuh ke tanah kalau tidak dikehendaki Bqapamu. Jumlah rambut dikepalapun sudah dihitung semuanya. Sebab itu janganlah takut! Kalian lebih berharga daripada burung pipit!” (Mat 10:29-31).
Sebagai seorang Bapa, Ia tahu baik-baik apa yang kita butuhkan dan apa yang tidak. Dalam mengungkapkan semua kebutuhan tak perlulah manusia bertele-tele dalam kata-kata sepertinya bukan berhadapan dengan Allah sebagai Bapa. “Bapamu sudah tahu apa yang kalian perlukan, sebelum kalian memintanya” (Mat 6:8). Ia bukanlah Allah yang tuli dan pekak. Apa yang manusia cemaskan untuk memperolehnya, menjadi perhatianNya juga. Makanan, minuman, pakaian? “Bapa yang di surga tahu bahwa kalian memerlukan semuanya itu” (Mat 6:32).
Dalam keseluruhan Perjanjian Baru khususnya yang ditunjukkan oleh Yesus Kristus sebagai “penampakan Allah”, Allah Bapa itu bukanlah Allah yang kejam. Sungguh lain sekali, Dialah Bapa yang menerima manusia sebagai “Allah yang menyelamatkan”, yakni: Allah yang tidak menuntut tetapi memberikan apa yang dibutuhkan manusia. Allah yang tidak menindas tetapi mengangkat dan menaikkan harga diri dan martabat manusia. Allah yang tidak melukai dan menyakitkan tetapi menyembuhkan luka penderitaan lahir batin, Allah yang tidak menyiksa tetapi mengampuni dan memberikan masa depan yang baru untuk mulai lagi…, Allah yang tidak menghukum tapi membebaskan; Allah yang tidak menunggu sambil bersikap masa bodoh, tapi Allah yang selalu mengambil inisiatif dan prakarsa untuk keselamatan manusia.
Dalam pelbagai kesempatan Allah itu berpaling kepada “orang-orang berdosa”. Dalam perumpamaan “anak yang hilang” (bdk. Luk. 15:11-32) sang Bapa membela anak bungsu yang hilang, dari pada anak sulung yang selalu ada di rumah dengan Bapa. Betapa besar kegembiraan yang meliputi Bapa kala si bungsu kembali. Pada kesempatan lain dalam diri Yesus, Ia berpaling dan dekat dengan para pemungut cukai (yang dicap pendosa) daripada dengan kaum Farisi yang menganggap diri suci dan bersih. Ia membela pezinah dan sebaliknya menentang para terdakwa yang berlagak suci dan bertindak demi mentaati hukum.
Semua yang dikatakan di atas adalah sekaligus menggambarkan Allah yang mencintai, Allah yang berbelas kasih, Allah yang sabar, sebab Ia tidak mau seorangpun binasa (bdk. II Ptr 3:9). Yang menjadi tokoh utama dalam perumpamaan “anak hilang” pada hakekatnya bukan si anak bungsu, bukan si sulung, melainkan Sang Bapa. Perumpamaan itu menggambarkan hati kebapaan Allah yang mencintai, yang berbelas kasih, yang menerima anaknya kembali tanpa minta penjelasan tentang detil-detil perjalanannya hingga pulang. Masa lampau anaknya dan sifat brengseknya sama sekali tak digubris. Yang penting sekarang, saat ini; ‘anakKu pulang’. Sang Bapa gembira karenanya. Kegembiraan itu terungkap dalam pesta yang diadakan karena sang anak telah ditemukan. Memang benar apa yang dikatakan Paulus: “Kasih itu sabar, kasih itu murah hati,…tidak mencari keuntungan diri sendiri”, (I Kor. 13;4-5) benar-benar tergambar dalam diri Sang Bapa. Ia penuh sabar sebab itu masa lampau anakNya yang “hitam kelam” tak diungkit-ungkit. Pesta yang diadakan, pakaian, cincin dan kasut buat si bungsu…. Berapa banyak? Tak apa! Kasih itu murah hati. Itulah Allah yang mencintai, Allah Sang Bapa !!!
Allah menarik untuk memperhatikan lebih lanjut perumpamaan “anak hilang”. Seperti sudah dikatakan pada bagian sebelumnya, tokoh sentral bukan anak bungsu, bukan pula anak sulung, melainkan Sang Bapa. Begitu si bungsu menyampaikan niatnya agar memperoleh harta pusaka yang menjadi haknya, Sang Bapa meladeninya, tanpa banyak kata dan komentar. Yang sama ketika si bungsu menjual seluruh bagiannya lalu pergi ke negeri yang jauh. Sang Bapa tak banyak ribut apalagi mempersoalkan dan membesar-besarkan. Malah tak ada hasrat untuk mengejarnya agar membatalkan dan mengurungkan niatnya. Tepat kalau dikatakan bahwa Sang Bapa dalam hal ini memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anakNya.
Dalam kehidupan beragama Katolik, Allah memberikan kebebasan penuh kepada manusia. Mengherankan memang! Dia Maha Kuasa, berdaulat atas manusia, namun tak pernah memaksakan kehendakNya terhadap manusia. Lebih lagi tak mendektekan saja keinginanNya terhadap manusia. Hl ini wajar, sebab cinta dan ketaatan yang dipaksakan jelas akan menghasilkan suatu pola hidup yang penuh dengan rasa takut, gerutu dan caci maki. Itu justru tak dikehendaki oleh Allah.
RencanaNya terhadap manusia, betapa luhur dan maha penting sekalipun, selalu berupa tawaran terhadap manusia, suatu undangan untuk ditanggapi oleh manusia. Dengan akal budinya yang terang dan kehendak bebasnya manusia mendengarkan, mempertimbangkan dan memutuskan apa yang mau dilakukannya. Ia bebas memilih antara pelbagai kemungkinan yang tersedia. Juga terhadap Allah.
Manusia diberi kebebasan penuh. Namun, bukan tanpa resiko. Sejarah penyelamatan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memberikan banyak contoh. Kebebasan disalahgunakan, status sebagai bangsa terpilih dalam praksis jauh daripada sesestinya. Israel akhirnya harus meringkuk dalam tawanan di Babilon sebagai konsekuensi atas perilakunya dan penyalahgunaan kebebasannya. Namun pada akhirnya mereka dengan bebas pula berbalik dan bertobat, percaya lagi kepada Yahwe. Sama halnya dengan si bungsu dalam perumpamaan dengan “anak hilang”. Ia bebas meninggalkan Bapanya, bebas hidup di tanah pengasingan, dan akhirnya dia sendiri menerima dan mengalami nasibnya: jatuh melarat. Dengan bebas pula ia memutuskan untuk pulang ke rumah Bapa setelah menyadari keadaannya yang sebenarnya. “Betapa banyaknya orang upahan Bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi di sini aku mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada Bapaku dan berkata kepadanya ‘Bapa aku telah berdosa….’ (Luk 15:17-18).
Kebebasan dihargai tinggi dan dengan penuh semangat diusahakan oleh orang-orang zaman kita ini. Tidak salah! Namun dalam praksis hidup, kebebasan dimanfaatkan seolah-olah mereka mendapat izin untuk melakukan apa saja yang menyenangkan sekalipun jahat. Yang jahat tidak jarang dilakukan. Kebebasan sejati adalah lambang citra illahi didalam diri manusia. Kebebasan diberikan Allah agar manusia mempunyai keputusannya sendiri, mencari Penciptanya secara serta merta dan dengan bebas pula menentukan pola hidupnya sesuai dengan imannya akan Allah Pencipta. Martabat manusia menuntut agar manusia bertindak menurut pilihannya yang sadar dan bebas, berasal dari dalam, bukan berdasarkan dorongan yang buta atau karena paksaan dan tekanan dari luar. Mari kita mencintai sesama kita, terutama mereka yang termarginalkan secara ekonomi, pendidikan dan sosial. Semoga Tuhan beserta kita. (memet)