Bimas Katolik Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur

Selamat Natal 2017 dan Selamat Tahun Baru 2018
Pro Patria et Ecclesia
 
 Statistik Kunjungan
 


 Sejak: 18 September 2010

 
Web Links
 


 
Temukan kami di facebook

 
Malang-Batu-Pasuruan  BERIMAN DALAM MASYARAKAT YANG DINAMIS 1
Editor: warto Update: 28-10-2010

Oleh : Drs. I.J. Wartohadi

(Pengawas Pendidikan Agama Katolik Kamenag Kab. Malang)

 

A.        PENDAHULUAN

     Sebagai umat beriman dan kelompok warga negara yang menyadari tanggungjawabnya di dalam masyarakat, kita umat Katolik berikthiar supaya mengerti sesama warga negara yang menganut agama dan kepercayaan lain dan memberi kesempatan kepada mereka untuk memahami kita. Sebagai umat Katolik kita selalu mencari jalan bagaimana seharusnya kita memberikan sumbangan dalam hidup kemasyarakatan yang selalu dinamis ini, demi kesejahteraan dan kedamaian bersama.

          Kita ingin turut menunaikan panggilan seluruh umat beragama, yaitu bersama-sama secara aktif membangun suatu masyarakat yang semakin manusiawi. Kita ingin membangun kemanusiaan dalam segala dimensinya. Itu berarti kita mencurahkan perhatian kita, terutama kepada dimensi kepribadian, kerohanian dan transendensi. Dimensi itu tidak terlepas dari dan bahkan berpengaruh besar terhadap dimensi-dimensi hidup bermasyarakat dan bernegara di dalam dunia ini.

          Iman katolik tidak memisahkan umat Katolik dari kebersamaan hidup kemasyarakatan dengan warga-warga lain sebangsa dan setanah air. Umat Katolik Indonesia berperanserta sebagai bagian integral bersatu padu dengan bangsa Indonesia. Peran serta ini diusahakan berdasarkan kesadaran akan tugas dan tanggungjawab yang luhur terhadap sesama warga di dalam masyarakat. Iman mewajibkan kita umat Katolik memberikan pelayanan cinta kasih persaudaraan kepada siapa saja di sekitar kita.

 

B.        SIFAT UMAT BERIMAN

          Empat sifat yang diperlu dimiliki oleh setiap Gereja  (Umat Beriman Kristiani) yang ingin melaksanakan panggilannya dalam dunia dan masyarakat. Sifat-sifat ini adalah : Mandiri, Misioner, Daya pikat dan Daya tahan.

1.    Mandiri

    Gereja perlu mandiri dalam hal personalia, dalam vitalitas rohani dan dalam hal keperluan material. Dalam hal personalia : Gereja dapat menyediakan sendiri tenaga di semua tingkatan jabatan, baik formal maupun informal yang dibutuhkan agar ia dapat mengemban tugasnya. Dalam hal vitalitas rohani: Umat Katolik tidak perlu terus menerus dipompa. Ia hidup, memancarkan vitalitas dan semangat, ia giat, ia merupakan ragi dalam masyarakat. Dalam hal material : Gereja harus dapat mendukung dan menjamin semua usahanya, pada hakikatnya berrdasarkan kekuatannya sendiri, tidak lagi mengandalkan bantuan pihak lain bagi pelayan-pelayanannya.

2.    Misioner

    Gereja yang penuh semangat untuk mewartakan Injil, untuk memberikan kesaksian tentang Yesus Kristus dalam masyarakat. Kita tidak boleh puas dengan keadaannya yang telah tercapai. Kita jangan melihat tugas utama kita dalam pemeliharaan umat yang ada. Gereja diadakan bukan sekadar demi dirinya sendiri, melainkan untuk menjadi ragi dalam masyarakat. Kita disuruh menempatkan pelita Injil di atas kaki dian agar kelihatan dari jauh.

 

3.    Daya Pikat

    Daya pikat ini erat hubungannya dengan semangat misioner. Kesan yang diberikan oleh umat kita, oleh Gereja dalam segala manifestasinya, baik oleh anggota umat maupun oleh umat sebagai kesatuan orang yang percaya kepada Kristus, harus sedemikian rupa sehingga hati orang yang melihatnya terpikat padanya. Jadi Gereja harus menarik, harus memberikan semangat, harapan, ketentraman, contoh kebaikan, kekuatan, harus mengesan!

 

4.    Daya Tahan

    Gereja harus sedemikian kuat dan mantap dalam iman, harapan dan cinta kasih, sehingga tahan dalam segala situasi. Di segala zaman ada Gereja-gereja yang mengalami tekanan dan penganiayaan. Gereja harus dapat tahan dibanting, tahan hidup kalau penguasa tidak bersikap baik terhadap kita, tahan dalam kesulitan, tahan diperlakukan sebagai minoritas yang tidak berarti, tahan menderita rugi karena iman kepada Yesus.

 

C.        TANTANGAN YANG DIHADAPI UMAT BERIMAN DALAM MASYARAKAT YANG DINAMIS

1.    Individualisme

          Individualisme adalah akibat tak terelak sebuah perkembangan yang sedang berlangsung dalam hidup orang kota, terutama kelas menengah ke atas. Bagi masyarakat kebanyakan pekerjaan tidak dapat terpisahkan dengan kehidupan dalam keluarga, sebaliknya gaya hidup modern memisahkan dengan tajam kedua bidang itu. Hidup dalam keluarga dan pekerjaan semakin tidak ada sangkut pautnya satu sama lain. Pagi hari ayah secara fisik dan emosional meninggalkan rumah dan keluarganya dan selama delapan sampai sebelas jam menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan isteri dan anak-anak. Apabila ia pulang sore atau malam hari, dan andaikata ia tidak membawa pekerjaan kantor, waktunya bagi keluarga.

          Dengan demikian budaya kampung, ketetanggaan dan kekeluargaan dalam arti luas berubah. Kekeluargaan dibatasi pada keluarga yang sungguh-sungguh serta diperdalam. Pergaulan dengan para tetangga serta partisipasi dalam kegiatan kampung semakin dirasakan sebagai gangguan. Budaya kelas menengah (apalagi kelas atas) modern dengan demikian menjadi individualistic dan privatistik.

          Bagi Gereja fakta ini mempunyai akibat. Kegiatan umat di paroki dan dalam lingkungan sampai sekarang juga didukung oleh kebutuhan kebersamaan dalam iman. Kebutuhan itu sekarang sedang berubah. Padahal kebersamaan dan tanggungjawab bersama dalam Gereja adalah hakiki bagi iman. Lantas bagaimana kita dapat menjadikan kegiatan dalam Gereja di tingkat lingkungan, paroki, keuskupan menjadi tetap menarik, bahkan lebih menarik lagi? Apakah umat kita sudah sungguh-sungguh ikut bertanggungjawab dalam semua tingkatan Gereja? Atau sampai membantu pastor saja?

         

2.    Pluralisme

        Dengan diferensiasi antara pekerjaan dan kekeluargaan, lingkungan social semakin tidak menentukan lagi dalam hal agama, keyakinan politik atau kepercayaan. Orang menentukan sendiri keterlibatan dalam tiga bidang itu. Dalam arti ini agama akan menjadi urusan pribadi. Tetangga tidak mesti mengetahui dan tidak memperdulikan kepercayaan tetangganya. Di kampungpun situasinya semakin menjadi demikian.

        Pluralisme itu berarti bahwa orang dari berbagai suku dan daerah, agama dan keyakinan religious dan politik bercampur baur di kampong-kampung, di tempat kerja, dikendaraan umum, di rumah sakit, di manapun.  Dengan kata lain, control social terhadap pelaksanaan keagamaan makin berkurang. Umat Islam tidak akan dapat mengontrol apakah anggota mereka sembahyang atau tidak, dan umat Katolik tidak lagi berada di bawah tekanan social untuk pada hari Minggu ke Gereja. Orang datang karena mau dating,  atau tidak dating. Tidak lagi karena kebiasaan atau karena merasa malu ketahuan tidak ke Gereja.

        Situasi ini jelas suatu kans dan tantangan bagi kita, ke dalam dan ke luar. Jumlah umat kita yang malas ke Gereja barangkali akan semakin bertambah. Tetapi mereka yang tetap ke Gereja adalah orang-orang yang sungguh-sungguh berkeyakinan. Mereka lebih tinggi kesadarannya. Mereka dapat kita libatkan sungguh-sungguh dalam kehidupan Gereja. Dapatkah kita saling memperkuat dalam semangat kerasulan dalam masyakat? Dapatkah semangat baru itu merangsang anggota umat yang dulu agak bosan agar mereka melibatkan diri secara aktif dalam hidup dan kerasulan Gereja lagi?

        Sekaligus pluralism itu kans bagi Gereja yang missioner. Kesaksian  kita lebih sulit dihadang oleh control social golongan-golongan dan kepercayaan lain. Dapatkah umat kita mempergunakan kans baru itu? Dapatkah umat kita menjadi menarik bagi masyarakat, memikat hati orang yang melihat kesaksian kita,? Apakah umat kita betul-betul bernafaskan misionaris?

 

3.    Masyarakat Media Audio Visual

        Masyarakat dalam situasi yang dinamis ini, nilai-nilai dan pandangan-pandangan hidup mereka akan semakin ditentukan oleh media masa, radio dan terutama televise dan video. Dapat dipastikan bahwa pengaruh TV dan video akan luar biasa mendalamnya. Pengaruh TV dan video akan lebih kuat dari pada segala indoktrinasi oleh Negara. Melalui antenna parabola orang akan dapat menyedot program dari mana saja ke layarnya. Video dapat dibeli dengan bebas karena hamper tidak dapat dikontrol.

        Apakah kita siap menghadapi tantangan itu? Apakah pewartaan kita dapat bersaing dengan TV dan Video. Apakah nilai-nilai dan pandangan-pandangan hidup umat kita akan lebih ditentukan oleh budaya TV dan video atau oleh Injil?

        Jelaslah bahwa seluruh pewartaan kita, bahkan gaya hidup kita ditantang. Jangan-jangan orang meninggalkan iman bukan karena tekanan lawan, melainkan karena pewartaan kita rasanya hambar dan membosankan! Apakah kita dapat ikut dalam penciptaan budaya media audio visual itu?

 

4.    Budaya Hedonistik

        Budaya yang diwujudkan melalui media audio visual itu diperkuat oleh reklame yang telah meresapi hamper semua tempat dan situasi hidup masyarakat. Budaya itu adalah budaya hedonistic. Dogma budaya hedonistic adalah : Hidup yang betul adalah hidup berkesenangan. Tanpa kesenangan hidupmu gagal! Dalam budaya hedonitstik hidup hanya mempunyai arti, dan kita hanya diakui oleh orang lain, apabila penuh kesenangan, kemewahan dan kenikmatan. Orang yang tidak menikmati kemewahan, yang kelihatan ada masalah (yang tidak dapat segera dipecahkan dengan membeli barang yang disajikan oleh reklame) adalah orang yang tidak laku dalam budaya hedonistic.

        Pengurbanan, menanggung penderitaan, askese dan tapa, kesederhanaan, kerelaan untuk melepaskan nikmat demi cita-cita luhur tidak mampunyai tempat dalam budaya itu. Padahal nilai-nilai paling luhur hanya dapat dicapai melalui perngurbanan dan kesediaan untuk menderita dan berjuang.

        Budaya hedonistic itu berkembang dalam empat sikap yang semakin mengkorupsikan sopan santun pergaulan dan seluruh system nilai masyarakat : Konsumerisme, mempungisme, sloganisme dan sikap menghina terhadap orang kecil.

a.      Konsumerisme

       Konsumerisme adalah sikap orang yang terdorong untuk terus menerus menambahkan tingkat konsumsi, bukan karena konsumsi itu sebenarnya dibutuhkan, melainkan lebih demi status yang dikira akan diperolehnya melalui konsumsi tinggi itu. Orang mengira ia bias menjadi orang dengan memberli barang-barang dengan merek tertentu, ia harus memiliki rumah dengan gaya orang gede, berolah raga dan berlibur seperti orang gede.

       Pada golongan elite konsumerisme berarti terus menerus meningkatkan konsumsi mereka (tidak cukup berlibur ke Bali, harus ke …….. luar negeri). Sedangkan masyarakat biasa mencoba meniru-niru gaya hidup elite dan dalam rangka itu justru sering merusakkan ekonomi rumah tangga mereka sendiri yang memang tidak kuat.

 

b.      Mumpungisme

       Konsumerisme dengan sendirinya menghasilkan mumpungisme : Maksudnya, dalam budaya konsumerisme orang menyadari bahwa dengan bekerja yang rajin, jujur, bertanggungjawab, bermutu dan ulet ia tidak pernah bisa maju. Bekerja dengan jujur, rajin dan bertanggungjawab malah semakin dianggap sikap yang bodoh. Cara yang efektif untuk maju adalah “ngobyek” “mumpung” ada kesempatan dengan bonceng pada orang-orang di atas, dengan mengambil jalan cepat, jalan pintas.

 

c.       Sloganisme

       Sloganisme mencerminkan kepalsuan gaya hidup konsumeristik dan mumpungisme dalam cara omong. Kata-kata bermakna dipakai secara murahan, sering untuk menutup-nutupi kepentingan pribadi. Orang hanya omong dalam slogan-slogan saja. Begitu kita terus menerus dihujani dengan omongan tentang nilai-nilai luhur, moralitas bangsa, ethos kerja, tanggungjawab, sedangkan masyarakat menyaksikan kebalikan sedang terjadi.

 

d.      Sikap menghina terhadap orang kecil.

       Tidak mengherankan apabila sikap-sikap ini biasanya disertai sikap menghina terhadap orang kecil. Orang kecil tak perlu diperhatikan, tak perlu diajak musyawarah, karena mereka lemah, mereka tanpa malu-malu diperas.

       Budaya kota hedonistic yang koruptif itu langsung menantang kita. Apakah kita juga ikut-ikutan? Budaya itu persis kebalikan dari budaya hati dan pergaulan yang dibawa Yesus. Berhadapan dengan budaya hedonistic, dari kita dituntut untuk membuktikan dengan gaya hidup kita bahwa Injil membebaskan manusia dari kuasa-kuasa dunia, dan bahwa hidup dalam kesederhanaan, cinta, kejujuran, tanpa pamrih dan dalam solidaritas dengan orang kecil lebih membahagiakan serta memberikan kemantapan lebih besar daripada hidup dengan gaya dunia itu.

 

5.    Kontras-kontras Sosial

        Perkembangan kelima adalah kemungkinan bahwa perbedaan kekuasaan dan kekayaan antara kelas-kelas social akan semakin tajam. Jadi, perbedaan kaya miskin, golongan atas dan menengah atas di satu pihak dan golongan bawah dan golongan menengah bawah  dilain pihak akan menjadi semakin besar. Itu juga akan berlaku apabila kemiskinan absolute sebenarnya berkurang, jadi apabila keadaan 60 persen masyarakat ke bawah secara absolute membaik.

        Masyarakat akan dibagi tajam antara mereka yang merasa mempunyai harapan dan mereka yang merasa tidak mempunyai harapan atau sekurang-kurangnya merasa tetap mandeg, tetap tidak kebagian hasil-hasil pembangunan yang secara mencolok dan mentereng menentukan wajah masyarakat kita. Antara mereka yang maju bersamaan dengan kemajuan pembangunan dan mereka yang bagaimanapun juga tetap merasa paling-paling dengan pas-pasan dapat menjamin kehidupan keluarga mereka. Antara mereka yang menikmati gaya hidup dan gaya kerja modern dan mereka yang hanya menjadi penonton atau paling-paling pelayan dalam dunia modern ini.

        Kontras social itu berarti bahwa hanya sebagian masyarakat menjadi partisipan betul dalam kehidupan social politik ekonomis bangsa, sedangkan bagian lebih besar menjadi marginal. Artinya didesak ke pinggir dan tidak mempunyai pengaruh serta tidak diperhatikan. Justru karena itu merekalah yang biasanya akan menjadi kurban pembangunan.

        Dengan demikian ada kemungkinan bahwa kebencian social antar kelas akar bertambah. Kelas-kelas atas semakin takut terhadap kelas-kelas bawah, kelas-kelas bawah semakin mengiri terhadap kelas-kelas atas.  Adanya orang miskin, orang tanpa harapan, orang yang senantiasa menjadi kurban pembangunan, tidak boleh kita biarkan, karena hal itu akan berarti bahwa kita membiarkan Yesus sendiri, Relevansi keberadaan Gereja dalam masyarakat Indonesia tergantung juga dari apakah ia betul-betul bersetiakawan dengan bagian masyarakat yang kurang beruntung. Jadi, kita tidak dapat menerima celah kaya miskin itu.

        Kita ditantang untuk menjadi umat dimana saudara seiman yang miskinpun, para pekerja kasar, penarik becak, para wiraswasta di kaki lima, dll, sepenuhnya merasa diterima, bukan hanya secara pasif, melainkan sebagai warga umat terhormat yang ikut aktif dalam kegiatan umat.

 

6.    Krisis Generasi Muda

        Dapat dipastikan bahwa dalam situasi semacam ini generasi muda mengalami krisis makna. Artinya mereka akan mengalami kesulitan dalam mencari makna hidup serta dalam memberikan arti mendalam terhadap hidup mereka sendiri. Mereka akan bingung kalau harus menjawab pertanyaan : Untuk apa aku hidup?

        Dunia khayalan budaya video, hp, dan reklame serta budaya koruptif konsumerisme dan mumpungisme di mana tanggungjawab, usaha keras dan pengurbanan tidak mempunyai tempat, dengan sloganisme yang merendahkan nilai-nilai luhur menjadi sekadar tirai asap pamrih pribadi, mesti memberikan kesan pada orang muda bahwa dunia orang dewasa sebenarnya merupakan dunia nihilisme nilai.

        Bagaimana generasi muda akan bereaksi terhadap kebingungan itu? Reaksi mereka dapat berupa hedonism, dapat membawa ke fundamentalisme, dapat membuat orang muda membentuk gang – gang criminal dan penghisap obat bius, dapat membuat mereka memisahkan diri dari masyarakat orang dewasa.

        Perlu kita perhatikan bahwa krisis  makna generasi muda itu adalah krisis generasi muda Gereja juga. Itulah tantangan yang kita hadapi. Apakah orang muda kita akan menjadi skeptic, nihilis hedonistic atau destruktif juga? Ataukah kita mampu menyampaikan kabar gembira Yesus Kristus sedemikian rupa sehingga hati mereka terpikat? Padahal Injil sebenarnya justru diperuntukkan bagi orang seperti mereka itu! Apakah kita dapat melibatkan orang-orang muda kita dalam semangat Injil? Apakah kita dapat merangsang keberanian dan kebesaran hati mereka, kesediaan dasar orang muda untuk berkurban demi sesuatu yang luhur, idealime mereka? Apakah kita dapat mewujudkan kehidupan dan kerasulan Gereja sedemikian rupa, sehingga justru menjadi penuh makna, tanda harapan dan sumber semangat bagi orang-orang muda, bukan hanya yang ada di dalam Gereja, melainkan juga mereka yang di luar? Apakah kita mampu mengaktifkan daya pincar Injil bagi mereka?

 

7.    Bersambung.........................

 

 

  
  
Kabar Daerah
 
Cari Berita

Agenda Kegiatan

-----------------------------

Pertemuan Pembinaan Guru Agama Katolik Sekolah Dasar
28-4-2017

Tulisan Populer

Work Shop Penyusunan Silabus dan RPP Berkarakter PAK SD 
Read: 70.126

Cinta yang Berkobar untuk Misi? (Suatu Refleksi Filosofis berdasarkan Pemikiran John D Caputo tentang Cinta) 
Read: 57.588

MATERI MINGGU GEMBIRA MASA BIASA 
Read: 52.840

ADAKAH KEHIDUPAN SETELAH KEMATIAN ? 
Read: 49.397

Makna Ibadah dalam perspektif agama katolik 
Read: 47.234

Arsip



Copyright (C) 2010-2018  
  Email: [email protected]
Jl. Raya Juanda 26 Sidoarjo

Tampilan terbaik gunakan mozilla firefox terbaru