Bimas Katolik Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur

Selamat Natal 2017 dan Selamat Tahun Baru 2018
Pro Patria et Ecclesia
 
 Statistik Kunjungan
 


 Sejak: 18 September 2010

 
Web Links
 


 
Temukan kami di facebook

 
Malang-Batu-Pasuruan  BERIMAN DALAM MASYARAKAT YANG DINAMIS 2
Editor: warto Update: 28-10-2010

 

7.  Fundamentalisme

        Kebingungan bukan hanya akan meliputi orang muda, tetapi juga banyak orang dewasa. Salah satu akibat yang sekarang sudah dilihat di banyak Negara, baik negara-negara beragama Islam maupun negara industry barat, adalah pelarian kesegala macam fundamentalisme. Ada fundamentalisme Islam, fundamentalisme Kristen, ada juga fundamentalisme-fundamentalisme non agama.

        Salah satu segi sampingan di Indonesia adalah kemungkinan, bahwa 10 tahun lagi negara kita jauh lebih ditentukan orang-orang yang menjunjung tinggi agama Islam dari pada apa yang kita kenal sekarang. Terhadap yang terakhir ini kita tidak perlu kuatir. Kalau kita memang harus mengalami kesulitan ataupun penganiayaan, Tuhan akan beserta kita. Yang memang harus kita persiapkan adalah kemandirian umat, karena dalam situasi seperti itu bias juga terjadi bahwa umat-umat di luar Indonesia tidak dapat membantu kita lagi, sehingga kita harus betul-betul berdikari. Secara personal dan financial.

        Yang sebenarnya lebih berbahaya adalah ancaman dari sekte-sekte, kelompok-kelompok doa, kelompok-kelompok Injil. Mereka itu menawarkan keamanan dan pembebasan dari segala keragu-raguan, tetapi dengan menutup diri terhadap dunia, dengan menjadi eksklusif dan antirasional. Pertumbuhan fundamentalisme Kristen sebagian adalah kesalahan kita juga : Kita juga masih terlalu formalistic, klerikalistik, kita seakan-akan tidak sanggup untuk menimba air rohani yang sebenarnya berlimpah-limpah diberikan kepada kita. 

 

A.       GEREJA  MEMBAHARUI DIRI

     Lalu bagaimana umat beriman harus membaharui diri, agar tantangan-tantangan itu tidak melumpuhkannya, tetapi sebaliknya merangsang vitalitasnya.?

 

1.    Ofensif, Bukan Defensif

        Yang kiranya paling penting : Kita tak perlu takut-takut, kita harus mempunyai kepercayaan dan semangat yang dinyatakan oleh Roh Allah dalam diri kita. Apabila Allah beserta kita, siapa yang masih dapat melawan kita (Rm 8 : 31)?

        Dalam arti itu kita harus ofensif, bukan defensif. Artinya kita jangan terus hanya melihat segala ancaman, hambatan dan tantangan, tetapi memandang tugas panggilan kita dan dengan penuh semangat berusaha untuk memenuhinya. Yesus tidak pernah menjamin bahwa kita akan bisa hidup dengan tenang, tanpa tantangan dan ancaman. Yang dijanjikannya ialah bahwa RohNya akan menyertai kita (Mat 10:20).

 

2.    Doa, Harapan dan Kekuatan Hati

        Yang paling penting dan mendahului segala usaha yang lebih rinci, adalah bahwa kita dipanggil untuk menjadi saksiu kehadiran dan kekuatan Allah dalam dunia kita. Kita menjadi saksi Allah. Memang kesaksian tentang Allah akan kosong kalau kita tidak menunjukkan relevansinya melalui tindakan kita dalam dunia. Akan tetapi inti iman kita, dan hakekat kesatuan sebagai umat adalah iman kepercayaan, bahwa Allah mengutus kita. Maka dasar segala usaha kita adalah kesatuan kita dengan Allah, masyarakat harus dapat merasakan pada kita bahwa kita ini anak Allah, bahwa Allah tinggal di antara kita.

        Oleh karena itu kita betul-betul harus menjadi manusia pendoa. Iman dan harapan kita harus terlihat. Cinta Allah dalam diri kita harus membuktikan kebenaran pesan kita tentang cinta Allah. Kita harus menjadi orang kebatinan, dalam arti bahwa kesaksian lahiriah kita hanya akan mempan apabila berakar dalam persatuan batin kita dengan Allah. Roh Allah harus terasa ada dalam diri kita. Maka dari itu kita memang harus fasih berdoa, karena hanya dengan doa, penyangkalan diri dan keterbukaan hati bagi saudara dimensi batin itu dapat berkembang pada kita.

 

3.    Dalam Umat

        Atas dasar itu kita lalu dapat merumuskan beberapa hal yang kiranya harus semakin nyata menjadi jati diri kita agar kita dapat menjawab tantangan-tantangan yang harus kita hadapi mendatang. Hal itu dapat kita bagi dua, meskipun saling menunjang. Ada yang lebih mengarah pada pemantapan kehidupan umat kita sendiri, ada pula yang mengarah pada pembaharuan kerasulan kita keluar, pada sikap misionaris kita. Ke dalam, demi pembangunan Tubuh Kristus, yaitu Gereja, saya ingin  menyebutkan tiga segi kekristenan yang perlu kita kembangkan lebih dari pada yang ada sampai sekarang.

a.      Membangun dan memberdayakan komunitas basis 

       Kiranya  tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa hidup menggereja masih sangat klerikal, masih sangat berpusat pada dan ditentukan oleh hirarki. Hidup Gereja kurang diperkembangkan dari bawah. Akibatnya, banyak karisma yang dianugerahkan kepada seluruh jemaat, baik laki-laki maupun perempuan, tidak seluruhnya dibiarkan tumbuh dan diperkembangkan. Tentu ini merupakan kerugian besar bagi jemaat Allah itu sendiri. Salah satu bentuk pengembangan hidup menggereja dari bawah adalah Komunitas-Komunitas Basis Kontekstual dalam wujud Komunitas Basis Gerejawi tertentu atau Komunitas Basis Kristiani. Dalam dan oleh komunitas ini, Injil didengarkan dan diwartakan, ditanggapi dalam doa, dan selanjutnya dijalani dalam keterlibatan nyata.

       Komunitas Basis Kristiani tidak bersifat eksklusif, karena Injil Yesus Kristus justru memanggil untuk membangun persaudaraan dengan semua orang. Gereja hidup tidak untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus. Maka dari itu Komunitas Basis Kristiani terbuka untuk membangun Komunitas Basis Manusiawi, yang mempunyai kepedulian untuk memperjuangkan  kehidupan bersama yang lebih manusiawi, adil dan merdeka. Komunitas Basis Manusiawi sekaligus dapat menjadi Komunitas Basis Antar / Lintas Iman, apabila terdiri dari para anggota dengan pelbagai iman.

       Komunitas Basis Gerejawi atau Kristiani dilandasi oleh Injil Yesus Kristus. Komunitas Basis Manusiawi didasarkan pada nilai-nilai manusiawi, termasuk di dalamnya penghargaan terhadap nilai-nilai religius dari iman lain dan oleh karenanya sekaligus dapat berupa Komunitas Basis Antar Iman.

       Dari basis itulah kita dengan rendah hati, penuh harapan dan semangat menghadapi situasi lebih berat yang kita alami, serta pelbagai kemungkinan yang barangkali akan menantang kita. Maka umat kita perlu mengembangkan daya tahan karena kokoh dalam imannya. Ajakan untuk membangun Komunitas Basis harus dilihat dalam perspektif back to basics (kembali ke dasar keumatan kita, ke sikap-sikap  dasar sebagai orang Kristen).

 

b.      Persaudaraan baru dalam umat

       Kesaksian kita dalam masyarakat, dan semangat kita sendiri, hanya akan dapat dipertahankan apabila ada tanda utama umat-umat kita adalah kesatuan dan persaudaraan sejati dalam cinta Kristus. Bukan bahwa tidak boleh ada perbedaan paham, atau tak pernah kita bertengkar. Hal-hal itu manusiawi dan kadang-kadang tidak dapat dihindari. Akan tetapi dalam Gereja tidak boleh ada kebencian dan iri hati satu sama lain.

       Ini suatu tantangan luar biasa. Orang yang bertemu dengan kita, harus betul-betul merasakan cinta Allah. Daya pikat kita yang terbesar: jadi aset misionaris terkuat kita mestinya adalah semangat cinta dan persaudaraan diantara kita. Itulah yang berhak ditemukan orang pada kita, dan itulah yang dijanjikan Kristus sendiri kepada kita.

       Bagaimana caranya kita sungguh-sungguh dapat mewujudkan suatu persaudaraan, yang bagi masyarakat menjadi tanda bahwa diantara kita Kerajaan Allah betul-betul sudah mulai terwujud?

 

c.       Bersama-sama bertanggungjawab atas Gereja

       Gereja harus betul-betul menjadi tanggungjawab kita bersama. Gereja bukan tanggungjawab hirarki, pastor, uskup, juga bukan tanggungjawab Sri Paus, melainkan tanggungjawab kita semua. Dan itu tidak sekedar sikap hati belaka, melainkan secara nyata. Secara nyata umat harus menjalankan tanggungjawab, atas segala segi kehidupannya, atas pewartaannya (kerygma), ibadatnya (Leiturgia), Kebersatuannya (Koinonia) dan pelayanannya (diakonia).

 

d.      Gaya hidup alternatif

       Tak cukuplah kalau kita secara individual hidup dengan baik. Dari kita dituntut lebih. Dari kita sebagai umat dituntut gaya hidup yang merupakan tanda lawan terhadap budaya hedonistik dan eksploitatif.

       Jadi kita ditantang untuk sungguh-sungguh melaksanakan peringatan Paulus: Jangan menyesuaikan dirimu dengan dunia (Rm 2:2)! Kita harus memberikan kesaksian kepada masyarakat bahwa hidup yang sungguh-sungguh bernilai manusiawi adalah hidup dalam kesederhanaan dan keprihatinan terhadap saudara-saudara yang menderita. Kita harus mewujudkan sebuah gaya hidup yang sederhana (tetapi bukan miskin dan melarat), berdasarkan kerja keras, bertanggungjawab, dengan kesediaan untuk bertanggungjawab dan keprihatinan terhadap sesama yang miskin dan menderita, puas dengan seadanya, ikut dalam pembangunan masyarakat tanpa pamrih, bersedia untuk membatasi diri dan seperlunya berkurban demi kesejahteraan bersama.

       Jadi sebagai kelompok kita harus  memperlihatkan bahwa manusia menemukan kebahagiaan serta kemantapan hati bukan dengan mengejar nikmat secara egoistik, bukan dengan terus menerus mau berkonsumsi semakin banyak, melainkan dengan berpegang  pada nilai-nilai kemanusiaan yang sejati, yang bagi kita menjadi konkret dan penuh daya dalam Yesus Kristus.

 

4.    Dalam Masyarakat Indonesia

        Dalam sikap terhadap masyarakat seluruhnyapun menurut hemat saya ada tiga hal yang perlu kita saksikan:

 

a.      Positif dan mencintai

       Dari kita dituntut sikap yang positif dan mencintai. Kita mesti memberikan kesaksian bahwa dalam situasi apapun, terhadap mereka yang menghargai kita maupun terhadap mereka yang membenci kita atau menganiaya kita, kita tetap mencintai dan menghormati mereka. Kita tidak pernah membenci kembali. Sebuah peribahasa Jawa mengungkapkan apa yang sebenarnya harus menjadi khas sikap orang Katolik, kepada yang bersikap baik terhadap kita, kita bersikap baik, terhadap mereka yang bersikap buruk terhadap kita, kita juga bersikap baik (“Sapa becik den beciki, sapa ala den beciki.”)

       Itu tidak berarti bahwa kita harus bersikap lembek, atau menelan apa saja. Terutama dalam membela hak orang lain kita harus keras, tegas, berani menentang, berani berkonflik. Tetapi kita menolak jalan kekerasan. Bukan hanya kekerasan fisik, melainkan juga kekerasan hati.

 

b.      Memperjuangkan keadilan dan hak-hak asasi manusia

       Hal inilah yang terus menerus didesakkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Hormat terhadap keadilan dan hak-hak asasi manusia mengungkapkan hormat terhadap martabat manusia ciptaan Allah.

       Hal itu tidak berarti kita harus ramai-ramai, selalu mengkritik, apalagi apriori dan seenaknya. Tetapi kita hanya memberikan kesaksian tentang Kristus yang hidup diantara kita, apabila kita tidak bersikap acuh tak acuh terhadap ketidakadilan dan terhadap pelanggaran hak-hak yang diberikan oleh Sang Pencipta sendiri kepada manusia.

 

c.       Berdiri di pihak orang miskin.

       Sebagaimana ditekankan oleh Paus Yohanes Paulus II, dari kita dituntut berdiri di pihak orang miskin, Tak dapat diragukan bahwa Tuhan secara khusus menitipkan orang-orang miskin kepada kita. Mengapa? Karena Yesus secara khusus hadir dalam mereka. Kita, umat Kristus, dipanggil untuk berdiri pada pihak kaum miskin.

Hal itu sering diungkapkan melalui istilah bahwa orang Kristen mesti mempunyai perhatian kepada mereka yang hidup miskin dan menderita.

       Kesaksian tentang iman kita kiranya hanya meyakinkan dan hanya sejati apabila kita secara nyata dan praktis ditemukan di pihak kaum miskin.

 

B.        PENUTUP

          Kita ini kawanan kecil dalam masyarakat. Tetapi kita tidak perlu gemetar berhadapan dengan tantangan-tantangan yang akan kita hadapi dalam masyarakat yang serba dinamis ini. Asal kita tetap berdiri kuat dalam iman kepada Yesus yang berada diantara kita melalui RohNya, dalam harapan bahwa Kerajaan Allah betul-betul sudah mulai terwujud diantara kita, serta dalam cinta kasih yang tidak pernah menyerah!

          Mari kita gembira dan bahagia bahwa Kristus sendiri memilih kita untuk memberikan kesaksian serta harapan kepada seluruh masyarakat kita.

 

Referensi

A.   Widyahadi Seputra, dkk (ed)

Menggalang Persatuan Indonesia Baru, Penerbit CV. Celesty Hieronika, Jakarta, 1999

       Dok. Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia

            Bangkit dan Bergeraklah, Penerbit  Obor, Jakarta, 2005

       Dokumentasi dan Penerangan MAWI

            Umat Katolik Indonesia Dalam Masyarakat Pancasila, Penerbit Sapdodadi, Jakarta, 1985

       Franz Magnis Suseno

            Beriman Dalam Masyarakat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995

       Franz Magnis Suseno

            Menjadi Saksi Kristus, Penerbit Obor, Jakarta, 2008

       J.B. Banawiratma

            10 Agenda Pastoral Transformatif, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2002

       Paul Velley (ed)

            Cita Masyarakat Abad 21, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2007

       Robert Hardawiryana, SJ.

            Cara Menggereja di Indonesia 5, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001

 

  
  
Kabar Daerah
 
Cari Berita

Agenda Kegiatan

-----------------------------

Pertemuan Pembinaan Guru Agama Katolik Sekolah Dasar
28-4-2017

Tulisan Populer

Work Shop Penyusunan Silabus dan RPP Berkarakter PAK SD 
Read: 70.126

Cinta yang Berkobar untuk Misi? (Suatu Refleksi Filosofis berdasarkan Pemikiran John D Caputo tentang Cinta) 
Read: 57.588

MATERI MINGGU GEMBIRA MASA BIASA 
Read: 52.840

ADAKAH KEHIDUPAN SETELAH KEMATIAN ? 
Read: 49.397

Makna Ibadah dalam perspektif agama katolik 
Read: 47.234

Arsip



Copyright (C) 2010-2018  
  Email: [email protected]
Jl. Raya Juanda 26 Sidoarjo

Tampilan terbaik gunakan mozilla firefox terbaru